Teripang, Timun Emas yang Untungkan Nelayan Batam

Diskan Batam – Ada beberapa industri rumahan pengolahan teripang di Kota Batam, Kepulauan Riau dengan omzet penjualan yang lumayan tinggi
Pengolahan teripang cukup rumit mulai dari pembersihan hingga pengeringan butuh teknik khusus. Jika salah pengolahan hasilnya tidak bisa dijual.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Batam mengatakan, nelayan terbantu ekonominya dari penjualan teripang untuk bahan farmasi
KKP mendorong budidaya harus digalakkan guna menghadapi semakin langkanya timun laut satu ini.

Rima Yanti (50 tahun) tengah asik berbaring santai di bangku panjang depan rumahnya, Selasa (10/9/2024). Dari rumah Yanti tampak jelas pesisir laut Pulau Kasu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau.

Yanti sebenarnya sedang menjaga teripang (Holothurians sp.) yang sedang dijemur di halaman rumahnya. Terlihat, beberapa teripang sudah kering. “Ini jenisnya berbeda-beda,” katanya Yanti kepada Mongabay.

Perbedaan itu terlihat dari warna teripang yang dijemur. Ada yang berwarna hitam pekat, abu-abu, hingga kecoklat-coklatan. Begitu juga bentuknya berbeda-beda. “Ini ada teripang gosok, teripang kapok, teripang gamat dan teripang coklat. Teripang kapok ini dalam bahasa melayu biasa disebut kulong, atau celak. Dia lebih hitam pekat,” katanya menunjuk satu per satu jenis teripangnya.

Yanti adalah seorang pengepul teripang yang ada di Kota Batam sejak lima tahun yang lalu. Teripang diambilnya dari masyarakat dan nelayan di Pulau Kasu dengan harga yang bervariasi. Misalnya teripang kacang yang masih hidup dan basah diambil dari nelayan Rp14.000 per ekor. Sedangkan teripang gosok Rp10.000 sampai Rp100.000 per ekor tergantung ukuran.

Setelah diolah, harga jual teripang ini naik beberapa kali lipat. Yang paling mahal adalah teripang gosok atau orang lain menyebutnya teripang nabi. Setelah dikeringkan, harga jualnya bisa mencapai Rp3 juta/kilogram tergantung ukuran. Sedangkan yang paling murah adalah gamat, harganya berkisaran Rp100.000-Rp700.000/kilogram setelah diolah.

Proses pengolahan yang butuh waktu membuat teripang menjadi mahal. Nazri karyawan Yanti menunjukan cara pengolahan teripang, mulai dari pembersihan, isi perut teripang dibuang, kemudian direbus dan digarami. Terakhir dijemur sampai kering. “Proses penjemuran membutuhkan waktu beberapa minggu,” katanya.

Teripang yang berhasil diolah Yanti dikirim lagi kepada perusahaan penampung di Kota Batam. Informasinya teripang tersebut akan diekspor keluar negeri untuk diolah menjadi bahan obat-obatan.

Sedangkan Firman warga Kampung Monggak, Pulau Rempang juga sebagai penampung dan pengolah teripang dari nelayan dengan jenis teripang gamat, pasir dan lumpur.

Dia menceritakan susahnya pengolahan teripang karena teripang harus dikirim kepada perusahaan ekspor dalam kondisi 90 persen kering. Jika belum kering perusahaan akan menolak.

Kesulitan mengolah teripang, adalah menjaga agar daging teripang yang lunak tetap utuh saat dijemur. Proses merebus teripang jangan terlalu matang agar saat dijemur daging teripang tidak menyusut yang tidak bisa dijual. “Kalau kita tidak pandai mengolahnya, bisa tidak ada daging,” katanya.

Firman menjelaskan, teripang yang dijual nelayan kepada dirinya juga tidak menentu, tergantung musim. Kadang satu orang berhasil menangkap dua ekor sampai enam ekor.

Penangkapan teripang juga tergantung laut. Biasanya teripang ditangkap dalam kondisi pesisir laut kering, karena saat hujan, teripang akan bersembunyi ke dalam tanah.

Dalam satu musim, Firman bisa mengirim teripang sebanyak 8 kilogram teripang kering. “Penghasilan tergantung pendapatan nelayan, biasanya dalam satu bulan setengahnya ada musim teripang, atau orang menyebutnya, satu toho,” katanya.

Firman berencana mengembangkan budidaya teripang karena potensinya yang sangat tinggi. Apalagi beberapa kali nelayan maupun masyarakat pesisir di Monggak menangkap teripang ukuran kecil yang susah untuk diolah. “Teripang kecil-kecil ini, rencananya kita budidayakan dulu,” katanya.

Menurutnya, sejak dulu populasi teripang masih banyak di perairan Pulau Rempang meski sudah terdapat industri besar penampung teripang di Lingga. “Informasinya di Bintan juga ada pabrik pengolahan (teripang) gamat jadi kosmetik,” katanya.

Penjualan teripang tergantung ukuran. Misalnya size super berisi 8-15 ekor/kilogram itu harganya bisa Rp3 juta. Kalau 15-20 ekor per kilogram harganya bisa capai Rp2.5 juta lebih. Tipe ketiga, yaitu 20-30 ekor satu kilogram dihargai Rp2,1 juta. “Dia makin ke bawah (kecil ukurannya) makin turunlah (harga),” katanya.

Firman biasanya menerima teripang dari nelayan yang berukuran 40-60 ekor per kilogram dijual Rp1.4 juta. “Disini banyak nelayan pantai, makanya teripangnya kecil.”

Membantu Ekonomi Masyarakat

Kepala Dinas Perikanan Kota Batam Yudi Admajianto mengatakan, pengolahan teripang sangat membantu ekonomi masyarakat pesisir dan nelayan di Kota Batam. Apalagi potensi teripang ini sangat besar, terutama dilihat dari harganya yang masih tinggi.

“Di beberapa pulau memang ada pengepulnya, di Belakang Padang ada lima, Pulau Galang ada tiga, di Pulau Bulang juga ada tiga pengepul, sedangkan pengepul besarnya ada di Tanjungpinang, tetapi memang teripang belum menjadi komoditi utama,” katanya saat dihubungi Mongabay, Jumat (13/9/2024).

Saat ini pengolahan teripang masih skala rumahan. “Hasil pantauan kami, sebulan pengepul dan pengolahan teripang rumahan ini dapat 20 sampai 40 kilogram teripang kering dalam sekali musim, artinya prospeknya masih banyak di perairan kota Batam,” katanya.

Jika terdapat industri yang mengolah langsung teripang menjadi bahan nilai guna seperti obat farmasi itu lebih membantu nelayan di Batam. “Kita juga baru sadar potensinya sebesar ini, mudah-mudahan setelah ini kita betul perhatikan teripang ini,” katanya.

Dalam jurnal Theresia Dwi Suryaningrum berjudul “Teripang: Potensinya sebagai bahan nutraceutical dan teknologi pengolahannya,” mengatakan, bahwa selama ini teripang diolah menjadi produk teripang kering dan asap. Ternyata, teripang berpotensi sebagai suplemen dan obat karena kandungan nutrisinya yang lengkap.

Menurut penelitian ini seharusnya industri farmasi harus ada di Indonesia untuk mengolah teripang menjadi makanan suplemen. Apalagi selama ini teripang hanya di ekspor dengan nilai tambah yang relatif kecil. Selain itu penelitian ini juga menyarankan budidaya teripang perlu digalakkan sehingga dapat mendorong tumbuhnya industri farmasi yang berbasis teripang di Indonesia

Dikutip dari situs resmi KKP, memang sampai saat ini teripang yang diperdagangkan masih mengandalkan hasil tangkapan alam. Sedangkan hasil budidaya masih sangat terbatas.

Artikel yang dimuat pada awal 2021 itu juga menyebutkan, dalam dua dekade terakhir, kesulitan memperoleh teripang dari alam juga terjadi di Indonesia akibat penangkapan teripang yang berlebihan. Cepat atau lambat kepunahan spesies ini semakin terbuka, jika usaha budidaya tidak berhasil dilakukan.

Di situs yang sama, disebutkan data Badan Pusat Statistik (2019), bahwa volume ekspor produk teripang Indonesia pada Januari hingga Juli 2019 mencapai 780.803 kg, dengan nilai mencapai US$ 8.762.309. Menurut Peneliti Utama BBRBLPP KKP Sari Budi Moria Sembiring, dengan nilai ekonomi dan kebutuhan pasar yang tinggi, khususnya pasar Asia, maka terjadi overfishing, sehingga perlu pengembangan budidaya.

Sumber : Mongabay – https://www.mongabay.co.id/
Oleh : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

DD